ILMU KALAM: AHL AL-SUNNAH WA
AL-JAMA’AH
(SALAFIYAH DAN KHALAFIYAH)
KATA PENGANTAR
Assalammu Alaikum warahmatullahi Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu karena
tanpa pertolongan-Nya Penulis tidak akan sanggup menyelesaikan tugas dengan
baik. Shalawat dan salam juga Penulis curahkan kepada baginda tercinta kita
yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman dan masalah lahirnya
Aliran Islam yang sangat diperlukan dalam kehidupan beragama dengan judul
makalah “AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAFIYAH DAN KHALAFIYAH)” dengan suatu harapan mendapatkan kehidupan yang
damai sejahtera terutama sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa
yang mengikuti mata kuliah “Ilmu Kalam”.
Oleh karena
itu pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Rustam Hasibuan M.Ag selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Ilmu Kalam. Dan terima kasih
juga Penulis ucapkan kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dan
dorongan kepada Penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat Penulis harapkan supaya dapat membantu menyempurnakan makalah ini di
masa yang akan datang. Semoga apa yang ada di dalam makalah ini dapat
memberikan pengetahuan berguna bagi teman-teman dan pihak yang berkepentingan.
PONTIANAK, 9 DESEMBER 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat
universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek kehidupan manusia.
Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci Alquran, akan tetapi
Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global. Oleh karenanya
interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan oleh umat Islam karena
versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang
berbeda-beda.
Perbedaan penafsiran tersebut juga
yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum kerangka pikir para
mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin yang berpola
pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zhanni
(teks yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan
mutakalimin yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat
pada dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni, dan
mereka lebih mengutamakan akal.[1][1]
Dari sekian beragam jenis
mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang
berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) [2][2],
dan di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah
ideologi (aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.[3][3]
Terkait dengan masalah tersebut, dan karena materi mata kuliah yang diberikan
untuk menguraikan dalam bentuk makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL
AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF DAN KHALAF).
B. Rumusan Masalah
Terkait dengan judul makalah ini,
maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf dan Khalaf)?
2.
Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3.
Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dengan perumusan masalah
dari makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf dan khalaf).
2.
Perbedaan antara salaf dan khalaf.
3.
Nilai dari aliran salaf dan khalaf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah
Ahlusunnah
merupakan kata majemuk dari kata ahl dan al-sunnah.kata ahl
berarti keluarga atau kelompok, sedangkan al-sunnah berarti kebiasaan dan
ajaran yang disampaikan dan ajaran yang disampaikan oleh nabi.
Mayoritas
ummat Islam di seluruh dunia adalah pengikut sunni atau ahlussunnah. Menurut
Maulana Abu Said Al-Kadimy Ahlussunnah adalah orang-orang yang pengikut sunnah
Rasulallah. Artinya berpegang teguh dengannya. Sedangkan yang di maksud
Al-Jama’ah ialah jama’ah Rasulullah dan mereka adalah para sahabat dan tabi’in.
mereka itu adalah orang-orang yang di jamin selamat dari api neraka. Firqoh ini
terbagi menjadi dua yakni ahlussunnah salaf dan ahlussunah khalaf
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh
nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh
kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor
kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka
menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk
kepadanya lahir dan batin,[4][1]
dalam hal ini ada dua versi yaitu:
1
Salafiyah (Salaf)
Aliran mu’tazilah mencapai puncaknya
pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari Bani Abbas, pada masa itu aliran
ini mengkampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an adalah mahluk”. Semua rakyat dan
ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada salah satu ulama’
yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal.
Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara.
Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran
teologi baru yaitu aliran Salaf.
Aliran salaf merupakan aliran yang
muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian
pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah.
Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras
terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah
Banyak definisi yang diberikan oleh
para pakar mengenai salaf, seperti menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf
artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang dimaksudkan untuk
merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri atas muhaditsin dan
yang lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah
tidak berpaham tasybih (anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil
dalam menafsirkan ayat mutasyabihat, sedangkan Mahmud al-Bisybisyi
mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang diketahui sikap mereka yang
menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta mengagungkan-Nya.[5][2]
Konsep aqidah salaf atau
disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan
dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para
penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat
Alquran yang tidak jelas maksudnya.[6][3]
Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan
Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh
kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan
pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat
Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan
untuk mengimani Tuhan.[7][4]
Konsepsi aqidah salaf
menetapkan semua sifat Allah menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama
Allah sesuai dengan yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil
atau interpretasi serta ta’thil atau menganggap tidak ada makna dari
sebagian atau semua sifat Allah, serta tidak ada tasybih atau
penyerupaan dengan makhluk.[8][5]
2. Khalafiyah(Khalaf)
Kata khalaf umumnya digunakan
untuk merujuk kepada para ulama pada abad III Hijriah dengan karakteristik yang
berlawanan dengan kaum salaf, di antaranya adalah tentang interpretasi
terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang
sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan.[9][6]
Aliran khalaf terdiri dari dua versi, yaitu sebagai berikut:[10][7]
a.
Aliran yang lebih mengutamakan akal, karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun
manusia mampu mengenal Tuhan, serta mampu menetapkan hukum dengan bantuan akal,
paham ini identik dipegang oleh aliran Mu’tazilah.
b.
Aliran yang menempatkan akal sebagai mitra dari wahyu, menurut mereka akal dan
wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa hal tertentu, karena dalam hal
tertentu akal tidak cukup untuk memahami wahyu karena keterbatasannya, paham
ini identik dipegang oleh Asy’ariyah.
Dalam istilah tauhid, aliran
Asy’ariyah dianggap sebagai golongan moderat dari aliran salaf dan
Mu’tazilah, dan karena hal ini aliran Asy’ariyah mempunyai banyak pengikut,
disebabkan karena banyaknya pengikut, maka aliran Asy’ariyah mayoritas disebut
dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.[11][8]
Tasy Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul
karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari pada tahun 300 Hijriah.[12][9]
Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.[13][10]
B. Perbedaan antara Salaf
dan Khalaf
Pokok utama yang menjadi perbedaan
antara aliran salaf dan aliran khalaf adalah permasalahan
interpretasi ayat Alquran ataupun Hadis nabi yang mutasyabihat atau yang
mengarah kepada penyerupaan (tasybih), karena aliran khalaf
menganggap pantas untuk diinterpretasi ke arti yang lebih layak dengan kesucian
Allah, sedangkan menurut aliran salaf hal tersebut merupakan sesuatu
yang dilarang (bid’ah), karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh
nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya maupun para tabi’in yang berpegang teguh
dengan ajaran nabi Muhammad SAW.[14][11]
Kaum salaf berpendapat bahwa
harus mengimani ayat Alquran atau Hadis yang berkaitan dengan sifat Allah
dengan apa adanya, adapun penjelasan tentang tangan, wajah, bertempat, dan
lain-lain dari Allah itu menurut mereka hanya Allah yang tahu penjelasannya,
karena hal tersebut tidak dapat diketahui oleh manusia, dan umat Islam dilarang
untuk berpikir tentang Allah.[15][12]
Sedangkan kaum khalaf
berpendapat bahwa boleh memahami ayat Alquran atau Hadis yang menjelaskan
masalah sifat Allah, karena tidak harus secara literal atau tekstual (secara
harfiah), karena ayat atau Hadis tersebut adalah majaz atau berupa kiasan
sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan bukan bermaksud untuk
menyamakan Allah, seperti mereka menafsirkan Wajah Allah dengan Dzat-Nya.[16][13]
Aliran salaf juga ada 2
jenis, ada yang radikal dan ada yang moderat, seperti imam Malik, imam Syafi’i,
imam Hanafi, serta imam al-Tsauri yang termasuk dari aliran salaf
moderat, dan imam Ahmad bin Hanbal merupakan tokoh aliran salaf yang
radikal selain imam Daud Zahiri dan imam Ibn Hazm, aliran salaf radikal
dikembangkan oleh imam Ibn Taimiyah serta kawan-kawannya.[17][14]
Ibn Taimiyah adalah seorang
tekstualis, pandangannya dianggap oleh imam Ahmad bin Hanbal serta al-Khatib
Ibn al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (anthropomorpisme) atau
menyerupakan Allah dengan makhluk, oleh karenanya al-Khatib Ibn al-Jauzi bahwa
pengakuan Ibn Taimiyah sebagai seorang salaf perlu ditinjau kembali.[18][15]
Watt mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam
sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.[19][16]
C. Nilai dari aliran Salaf
dan Khalaf
Nilai-nilai yang dapat diambil dari
aliran salaf dan khalaf adalah aliran salaf yang
mempertahankan aqidah murni, dengan menjaga agar tidak melakukan hal yang
dilarang karena aliran salaf tidak mau menafsirkan ayat-ayat Alquran
atau Hadis yang membahas masalah mutasyabihat, karena menurut mereka
menafsirkan hal tersebut adalah bid’ah (hal yang dilarang ).Sedangkan
aliran khalaf menganggap bahwa ayat Alquran ataupun Hadis yang membahas
ayat mutasyabihat boleh dijelaskan, akan tetapi pada masalah yang
tertentu ada keterbatasan akal yang tidak dapat menjelaskannya, dan hanya Allah
yang mengetahui.
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf dan khalaf memperdebatkan
masalah ta’wil ayat Alquran atau Hadis yang membahas masalah sifat
Allah, akan tetapi keduanya sama-sama sepakat tentang asal dari interpretasi
tersebut, sehingga polemik antara mereka hanya sebatas pemahaman kaum khalaf
yang menambah pembatasan arti ayat atau Hadis dengan penjelasan tetapi tetap
menjaga aqidah, sehingga tidak perlu menjadi perdebatan yang panjang, karena
hal tersebut untuk menjaga anggapan orang awam dari anggapan penyerupaan Dzat
Allah.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan
di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan
aqidah secara murni, sedangkan versi khalaf menempatkan akal dan wahyu
sebagai mitra, karena akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal
tertentu akal tidak dapat secara menyeluruh menjelaskan wahyu, akan tetapi
tidak semua wahyu tidak bisa dijelaskan.
2.
Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan
aqidah secara murni dan tidak mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau
Hadis yang mutasyabihat, sedangkan versi khalaf membolehkan untuk
menafsirkan ayat atau Hadis tersebut.
3.
Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah,
dan memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat
disimpulkan pada hakikatnya antara aliran khalaf dan salaf adalah
perbedaan ijtihad, bukan permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada
umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti perbedaan
pemahaman dalam permasalahan hukum Islam.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut subtansi Islam lebih
mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman dalam segala hal yang
diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan, sehingga motivasi
berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas kekurangan yang ditemukan
dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dengan tanpa
menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan untuk membaca makalah sederhana
yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua orang.
Pembahasan dalam makalah ini adalah
untuk dijadikan bahan renungan, sehingga penulis sangat berharap untuk
menjadikannya bahan pemikiran bagi mereka yang mengkaji kajian Islam yang lebih
mendalam, sekiranya pembahasan makalah ini tidak hanya terhenti sampai disini,
akan tetapi dapat lagi dibahas secara spesifik dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah
Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta:
Beunebi Cipta, 1987.
Nasution, Harun, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press,
1978.
Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf
dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî
al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
Qathani, Said, dan Nashir bin Abdul
Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya,
pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.
Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi
Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara,
1998.
[1][1]Rosihon Anwar dan Abdul Razak,
Ilmu Kalam, Cetakan II, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 32.
[2][2]Abdul Aziz Dahlan, Sejarah
Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta:
Beunebi Cipta, 1987, h. 94.
[3][3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah
Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi
Aksara, h. 7.
[4][1]Said al-Qathani dan Nashir bin
Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban
Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka
As-Sunnah, 2003, h. 13.
[5][2]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak,
Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 109.
[6][3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah
Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi
Aksara, 1998, h. 26.
[7][4]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah
Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl
fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar,2006, h. 9.
[9][6]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak,
Ilmu Kalam…, h. 119.
[11][8]Ibid., h. 36-37.
[12][9]Harun Nasution, Teologi
Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI
Press, 1978, h. 64.
[13][10]Ibid., h. 65.
[14][11]Syihab, Akidah Ahlus
Sunnah…, h. 36.
[15][12]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah
Salaf…, h. 32.
[16][13]Ibid., h. 35.
[17][14]Syihab, Akidah Ahlus
Sunnah…, h. 41.
[18][15]Rosihon Anwar dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam…, h. 116.
[19][16]Ibid., h. 117.
[20][17]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah
Salaf…, h. 38.
Tulisan di
atas ini dikutip dari salah satu situs yang isi pemahamannya sependapat dengan
saya bisa di cek situs aslinya beralamat di bawah ini.
Dikutip :
http://kumpulan-tulisan-rafiqi-mahdi.blogspot.co.id/2012/12/ilmu-kalam-ahl-al-sunnah-wa-al-jamaah.html
Posting Komentar
Posting Komentar